Suara Ibu Jakarta, 27 Mei 2025 — Suara Ibu Indonesia, sebuah gerakan sosial yang digawangi oleh para ibu dari berbagai latar belakang, menyerukan pembebasan 16 mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian usai mengikuti aksi demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan lalu. Mereka menilai tindakan aparat sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum.
Demo yang berlangsung pada 21 Mei 2025 tersebut merupakan bagian dari gelombang protes menolak Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang dinilai banyak pihak berpotensi membungkam kebebasan sipil. Aksi ini diikuti ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan sekitarnya. Unjuk rasa sempat berlangsung damai sebelum akhirnya ricuh menjelang sore hari. Kepolisian menyatakan telah mengamankan lebih dari 50 peserta aksi, dengan 16 di antaranya kini ditetapkan sebagai tersangka.
Reaksi Keras dari Suara Ibu Indonesia
Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta Selatan pada Senin pagi, Suara Ibu Indonesia mengecam keras penetapan status tersangka terhadap para mahasiswa tersebut. Mereka menyatakan bahwa tindakan aparat tidak mencerminkan semangat demokrasi dan hanya akan memperparah ketegangan antara masyarakat sipil dan institusi negara.
“Kami, para ibu, menolak anak-anak kami dikriminalisasi hanya karena menyuarakan aspirasi. Mereka turun ke jalan karena peduli terhadap masa depan bangsa. Apakah peduli terhadap bangsa kini menjadi sebuah kejahatan?” ujar Siti Rahmawati, juru bicara Suara Ibu Indonesia.
Rahmawati menambahkan bahwa organisasi tersebut akan mengirimkan surat terbuka kepada Kapolri, Komnas HAM, dan Presiden Republik Indonesia, mendesak pembebasan seluruh mahasiswa yang ditahan. Mereka juga tengah mempertimbangkan opsi gugatan hukum terhadap tindakan aparat yang dinilai represif.
Aksi Damai Para Ibu
Sebagai bentuk solidaritas, puluhan anggota Suara Ibu Indonesia menggelar aksi damai di depan Mabes Polri. Mengenakan kerudung putih dan membawa poster bertuliskan “Bebaskan Anak Kami” serta “Demokrasi Bukan Kriminal”, para ibu menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan membacakan puisi untuk menunjukkan dukungan mereka kepada para mahasiswa.
Salah satu peserta aksi, Maria Hutagalung, ibu dari seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang saat ini masih ditahan, menyampaikan kesedihannya. “Anak saya hanya ingin masa depan yang lebih baik untuk bangsa ini. Dia tidak merusak, tidak menyerang siapa pun. Tapi dia ditahan seolah-olah dia penjahat.”
Maria menegaskan bahwa dia tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan untuk anaknya dan 15 mahasiswa lainnya. “Saya tidak takut. Saya tahu saya tidak sendiri. Kami semua, para ibu, bersatu hari ini.”
Dukungan dari Tokoh dan LSM
Aksi Suara Ibu Indonesia mendapatkan dukungan luas dari sejumlah tokoh publik, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam pernyataan resminya menyebutkan bahwa penetapan status tersangka terhadap mahasiswa tersebut harus segera dikaji ulang secara transparan dan akuntabel.
“Ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan unjuk rasa ini. Kami mendesak penyelidikan independen dan pembebasan para mahasiswa jika terbukti mereka tidak melakukan tindak pidana,” ujar Koordinator KontraS, Feri Kusuma.
Sementara itu, mantan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menilai bahwa tindakan aparat harus berlandaskan prinsip proporsionalitas dan tidak reaktif. “Demokrasi akan mati jika aparat bertindak lebih cepat memenjarakan suara rakyat dibanding mengakomodasi kritik mereka,” katanya dalam sebuah diskusi daring.
Polisi Bersikukuh Tindakan Sudah Sesuai Prosedur
Menanggapi desakan dari berbagai pihak, juru bicara Polri, Brigjen Pol. Dedi Kurniawan, menegaskan bahwa penetapan tersangka telah melalui proses hukum yang berlaku. Menurutnya, para mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka terlibat dalam tindakan perusakan fasilitas umum dan penyerangan terhadap petugas.
“Kami memiliki bukti-bukti berupa rekaman CCTV dan keterangan saksi yang menguatkan dugaan tindak pidana. Kami tidak anti terhadap demonstrasi, tetapi aksi anarkis tidak bisa ditolerir,” jelas Dedi dalam jumpa pers.
Namun demikian, ia menyatakan bahwa Polri tetap membuka ruang komunikasi dan menerima masukan dari berbagai elemen masyarakat. “Kami akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memastikan semua proses berjalan sesuai hukum dan prinsip keadilan.”
Masa Depan Gerakan Mahasiswa
Kasus ini kembali membuka diskusi luas mengenai kondisi kebebasan sipil di Indonesia. Banyak pihak khawatir bahwa penindakan yang keras terhadap demonstran muda justru akan memicu kemunduran demokrasi dan menumbuhkan rasa takut di kalangan generasi muda untuk bersuara.
Namun Suara Ibu Indonesia percaya bahwa suara ibu bisa menjadi kekuatan moral untuk menyeimbangkan ketimpangan kuasa yang saat ini dirasakan oleh anak-anak mereka.
“Kami tidak hanya melahirkan mereka secara biologis. Kami juga ingin melahirkan keberanian, keadilan, dan kemanusiaan melalui suara kami,” tegas Rahmawati dalam akhir pernyataannya.
Dengan semangat yang tak gentar, para ibu ini bertekad untuk terus memperjuangkan hak anak-anak mereka. “Ini bukan hanya tentang 16 mahasiswa,” kata Maria Hutagalung, “ini tentang bagaimana negara memperlakukan suara rakyatnya. Jika kita diam, maka siapa lagi yang akan melawan ketidakadilan itu?”