Kopdes Bisa Monopoli Penyaluran LPG-Pupuk, Agen Resmi Dihapus?

Rencana pemerintah untuk menyalurkan elpiji subsidi dan pupuk bersubsidi melalui koperasi desa (kopdes) menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pelaku usaha, khususnya agen resmi yang selama ini menjadi ujung tombak distribusi. Apakah langkah ini akan mengarah pada penghapusan peran agen resmi dan memberikan monopoli penyaluran kepada kopdes?
Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) dalam beberapa bulan terakhir aktif mendorong agar distribusi barang kebutuhan pokok bersubsidi, seperti LPG 3 kg dan pupuk, dikelola oleh koperasi desa. Program ini masuk dalam strategi pemerintah untuk memperkuat ekonomi desa dan mendorong peran koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat. Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi.

Perubahan Rantai Distribusi: Peluang atau Ancaman?
Saat ini, penyaluran LPG 3 kg dilakukan oleh Pertamina melalui sistem agen dan pangkalan resmi yang tersebar di seluruh Indonesia. Agen ini adalah pihak swasta atau badan usaha yang telah memenuhi syarat dan terdaftar resmi sebagai mitra distribusi Pertamina. Skema yang serupa juga berlaku untuk pupuk bersubsidi, di mana distributor resmi bekerja sama dengan produsen pupuk nasional dan mengikuti sistem e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani).
Dengan rencana baru ini, koperasi desa akan menggantikan atau minimal mengintervensi peran yang selama ini dijalankan agen resmi. Koperasi akan diberi kewenangan untuk menyalurkan langsung ke masyarakat, dengan dalih pendekatan berbasis komunitas akan lebih akurat dalam sasaran dan mengurangi kebocoran distribusi.
Namun, banyak pihak mempertanyakan efektivitas koperasi desa dalam mengelola distribusi yang sangat sensitif ini. Terlebih, tidak semua kopdes memiliki kapasitas manajerial, infrastruktur, atau sistem akuntabilitas yang memadai.
Pro dan Kontra: Siapa Untung, Siapa Rugi?
Dari sisi pendukung, kebijakan ini dinilai akan memperpendek rantai distribusi dan mengurangi biaya logistik. Koperasi yang dikelola masyarakat dianggap lebih memahami kondisi lokal dan bisa memastikan distribusi LPG dan pupuk tepat sasaran. Selain itu, keuntungan koperasi akan kembali ke anggota dan masyarakat desa, memperkuat ekonomi lokal.
Namun, kritik datang dari berbagai asosiasi agen resmi LPG dan pupuk. Mereka menilai langkah ini akan mematikan usaha ribuan agen yang selama ini telah berinvestasi besar dalam infrastruktur distribusi, seperti gudang, kendaraan angkut, serta tenaga kerja. Tanpa transisi yang jelas, perubahan kebijakan ini bisa memicu kerugian besar dan gelombang PHK.
“Ini seperti mengganti sistem yang sudah berjalan tanpa kajian mendalam. Banyak agen resmi yang telah menjalankan standar operasional tinggi dan membantu menjaga kestabilan harga di lapangan. Kalau dihapus begitu saja, siapa yang akan menanggung kerugiannya?” ujar salah satu ketua asosiasi agen LPG di Jawa Timur.
Potensi Monopoli dan Risiko Penyelewengan
Kekhawatiran terbesar adalah munculnya monopoli oleh koperasi desa. Jika hanya satu entitas yang diberi hak menyalurkan barang strategis di suatu wilayah, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan sangat tinggi. Apalagi, pengawasan koperasi di tingkat desa sering kali longgar dan rawan konflik kepentingan dengan aparat desa.
Lembaga antikorupsi pun sudah memberi peringatan dini. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kebijakan ini berpotensi menciptakan “raja-raja kecil” di desa yang menguasai akses distribusi kebutuhan pokok.
“Bayangkan jika LPG dan pupuk hanya bisa dibeli dari satu pihak saja di desa, tanpa alternatif. Ini bisa mendorong praktik harga di atas HET dan penimbunan, apalagi jika pengawasan dari pemerintah lemah,” ujar peneliti ICW.
Solusi: Integrasi, Bukan Eliminasi
Alih-alih menghapus peran agen resmi, sejumlah ekonom menyarankan agar koperasi desa dijadikan mitra tambahan dalam rantai distribusi, bukan sebagai pengganti. Kolaborasi antara agen dan kopdes bisa menciptakan sinergi yang lebih sehat, di mana koperasi menjadi perpanjangan tangan untuk distribusi terakhir (last mile) di desa-desa terpencil, sementara agen tetap berperan sebagai penyedia logistik utama.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap kopdes yang terlibat telah melalui audit kelayakan operasional, pelatihan manajemen, dan memiliki sistem pelaporan yang transparan. Tanpa itu, perubahan kebijakan ini justru akan menciptakan masalah baru.
Di sisi lain, reformasi sistem pendataan penerima subsidi juga mendesak dilakukan. Pendekatan digital, seperti penggunaan KTP elektronik dan sistem verifikasi berbasis NIK, bisa membantu memastikan subsidi tepat sasaran—apapun model distribusinya.
Penutup
Rencana pelibatan koperasi desa dalam distribusi LPG dan pupuk subsidi adalah langkah yang bisa membawa perubahan besar dalam sistem logistik nasional. Namun, kebijakan ini harus dijalankan dengan hati-hati, mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaku usaha yang sudah ada, serta risiko-risiko tata kelola di lapangan.
Apakah kopdes akan menjadi motor penggerak ekonomi desa, atau justru menjadi entitas baru yang memonopoli dan menyulitkan akses masyarakat terhadap barang subsidi, akan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan ini diterapkan. Yang jelas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam transisi harus menjadi prinsip utama.